Sabtu, 08 September 2012

Spesialis Nonton Bareng


Spesialis Nonton Bareng

By  
Font size: Decrease font Enlarge font
Refleksi Prie GS
Negeri yang serba terlibat, itulah Indonesia. Tak peduli siapapun yang berpesta, kita adalah seksi repotnya. Apakah itu piala dunia, piala Eropa, apakah didalamnya ada timnas Indonesia atau tidak, selalu ada satu yang dipastikan ada, yakni nonton bareng.
Sepertinya nonton bareng itu prestasi yang pasti kita raih di ajang pentas besar dunia. Kalaupun ada prestasi sebagai tambahannya, paling-paling adalah kemungkinan menggelar nonton bareng dengan jumlah penonton terbanyak, sambil berharap MURI mau mencatatnya. Bangsa spesialis nonton bareng adalah gelar yang harus diwaspadai. Artinya, kita  hanya kecanduan cuma jadi penonton, tapi tidak dalam berprestasi  adalah bahaya yang nyata.
Bagaimana mungkin dalam menonton ada kecanduan? Mari kita lihat psikologi sebagai penonton berikut  ini. Pertama:  posisi yang tidak usah direbut  tapi pasti diperoleh. Ada satu jenis posisi yang demikan mengggoda untuk siapa saja, dengan modal apa saja, bahkan dengan modal nekat saja, pasti terlaksana, yakni  meraih posisi sebagai penonton. Kedua:  kalau sudah di bangku penonton, lihatlah ekpresinya, mereka  bebas mengumpat, memaki,  melempari batu dan tawuran, bahkan dengan rekan sesuporter. Jika dalam fraksi politik yang sama ada faksi, maka di klub suporter yang sama juga perlu beropsisi.
Cuma di diri penonton ada kegembiraan penuh dengan modal minimal. Penonton tidak perlu berprestasi, tak peduli yang menang adalah pihak lain, sepanjang ia diidentifikasikan sebagai dirinya sendiri, maka ia akan kegirangan. Begitu girangnya sampai-sampai lupa memikirkan keadaan keluarganya dan sekitarnya. Kenyataan di dalam sini kalah oleh keindahan di kejauhan.
Inilah se-asyik-asyiknya hidup. Ia tak terikat oleh target-target, kecuali target yang berbasis halusinasinya sendiri. Inilah fenomena fly sosial dan teler kebudayaan. Sebuah kebiasaan yang sanggup menggembirai  sesuatu yang sebetulnya tidak nyata, tidak ada, dan tidak berkaitan dengan diri sendiri.  Proses identifikasi semcam ini sangat  berbahya, karena bisa menganggap sebuah klub adalah dirinya, seorang idola adlaah hidup dan matinya, dan sebuah pertandingan adalah ritual yang harus dibela hidup dan mati. Begitu totalnya teler kebudayaan,  sampai-sampai seseorang tidak punya ruang untuk mengurus dirinya sendiri dan prestasinya sendiri. Apa jadinya bila diam-diam bawah sadar kita sebagai bangsa  sudah mulai alami abrasi kebudayaan. Kita sangat menggembirai posisi sebagai penonton. Dan akhirnya prestasi yang terbaik yang kita raih adalah nonton bareng saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar