Senin, 23 Juli 2012

Bakat Yang Hilang


Bakat Yang Hilang

By  
Font size: Decrease font Enlarge font
Refleksi Prie GS
Kenapa prestasi badminton Indonesia merosot? Ini analisis saya. Pertama, saya curiga sistem reli poin tidak cocok dengan kultur kita. Tidak tahu kenapa, tapi faktanya sejak sistem itu diberlakukan, prestasi competitor meningkat, sementara prestasi kita menurun. Target pembuat sistem untuk membuat badminton lebih popular, bisa jadi tercapai, tapi dengan kita sebagai korbannya. Cocok untuk mereka, tapi tidak untuk kita.
Begitu cocoknya dengan sistem sebelumnya, kita pernah mendominasi olahraga ini. Ini membuat pihak-pihak tertentu seperti tidak rela. Mereka menganggap  sistem lama membuat badminton tidak populer, dan hanya diminati segelintir orang saja. Anggapan itu salah.  Sejak lama badminton atau bulutangkis sudah populer. Sistem itu yang membuat olahraga ini besar dan melahirkan banyak legenda.  Soal peminat, itu tidak ada hubungannya dengan besar tidaknya olahraga ini. Itu hanya  berhubungan dengan itung-itungan  industri ala pedagang.
Sebut saja panjat tebing atau mendaki gunung.  Meski sepi penonton, sepi tepuk tangan, dan sepi sponsor, tapi tidak pernah kurang peminat. Selalu ada orang mendaki dan memanjat walau  tanpa ditepuki tangan.  Dalam olahraga dan profesi, berlaku yang disebut panggilan otentik.  Sistem reli poin adalah soal yang otentik, setidaknya bagi kita. Ya, bagi kita.  Karena kita adalah bangsa yang banyak membuang “unsur kita” dalam membuat kebijakan. Artinya, disetiap cabang olahraga dan cabang apa saja selalu punya watak dan maratabat sendiri.  Letak/ nilai mendaki gunung adalah karena sulit dan tingginya. Tidak bisa puncak Gunung Jaya Wijaya atau Everest di press menjadi lebih rendah agar mudah didaki, agar alahraga ini bisa menjadi hiburan keluarga. Tidak boleh juga mendaki dengan helikopter agar anak-anak bisa ikut.
Sebuah cabang olahraga tidak perlu takut akan kesulitan karena tidak cocok dengan pihak lain. Kepada mereka yang tidak cocok, silakan mengambil cabang olahraga lain. Biarkan sebuah cabang olahraga dengan unsur terbaiknya. Seperti tinju dengan kerasnya pukulan. Pernahkan ada  dalam sejarah, hanya karena membuat pingsan atletnya, tinju  jadi kering peminat? Itulah nilai sebuah watak. Ia kuat dan tegas dalam keputusan. Tak peduli orang suka, cocok atau  benci. Tinju tidak bisa diganti dengan elusan.
Sistem lama dalam bulu tangkis yang penuh perpindahan mungkin memang melelahkan.  Tapi karena itulah ia jadi menegangkan. Adanya unsur basa-basi dan membuat teler lawan dalam sistem lama, kita juga sudah lama terlatih karena kita punya akar budayanya. Maka ketika sistem itu dihilangkan, tercabutlah permainan ini dari watak kita. Sistem baru mengakomodir pihak lain, tapi tidak untuk kita. Inilah intinya, selama ini banyak keputusan yang tidak berbasis pada bakat dan realita kita sendiri. Ini terjadi di hampir semua cabang urusan, baik darat, laut dan  udara. Di darat misalnya, kita hanya pemain cadangan karena semua  hasil tambang , jenis kendaraan, pusat perbelanjaan, dan bank, mulai didominasi asing. Terlalu banyak keputusan yang mengizinkan posisi kita tidak sebagai “si pemegang peran”. (am)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar