Sedimentasi Sosial
By 25/07/2011 13:00:00

Banyak sungai yang mendangkal. Diantaranya bahkan lenyap menjadi daratan. Sungai di kota saya yang bernama Banjir Kanal Barat yang sedang dikeduk dan diperlebar, terancam menjadi bantaran besar karena debit airnya cuma setara genangan air. Sekarang saya mengerti kenapa di bantaran sungai banyak berdiri rumah-rumah darurat yang akhirnya benar-benar menjadi rumah. Selain karena persoalan sosial juga karena insting alamiah. Orang-orang yang tinggal di sana melihat tidak ada ancaman. Ancaman itu awalnya bukan peraturan, melainkan air. Tidak perlu diancam hukuman sekalipun, kalau air masih menggenang tidak mungkin orang mendirikan rumah. Tapi sungai sudah menjadi daratan. Air tidak lagi mengancam dari aliran resmi, tapi dengan cara yang susah diprediksi. Mungkin ia kecewa karena seluruh aliran resmi mengalami pendangkalan, selebihnya malah mengalami “pendaratan”.
Watak sungai itu menggambarkan pendangkalan di segenap urusan hidup. Di sepak bola misalnya, bukan lagi menjadi urusan sepakbola melainkan intrik politik dan organisasi yang ruwat. Sepakbolanya sendiri hilang entah kemana, lebih banyak menyumbang persoalan daripada prestasi. Begitu juga dengan politik. Banyak partai didirikan atas nama kecewa. Belum lagi berkontribusi untuk bangsa, partai sudah sibuk dengan pertengkaran sendiri. Begitu banyak pihak yang terpaksa menjadi sangat sibuk untuk mengurusi persoalan sendiri. Begitu besar konsentrasi untuk diri sendiri sehingga urusan bersama terlantar di mana-mana. Fasilitas umum mengalami fandalisme, sehingga orang-orang lebih memilih bersikap tidak umum. Di tempat rekreasi misalnya, kita dikejutkan oleh masalah sampah. Sampah menghuni apa saja. Yang terlihat bukan cuma merdeka dalam membuang sampah, tapi juga bagi petugas kebersihan untuk tidak menjalankan tugasnya. Begitu juga dengan Perda tentang sampah.
Watak sungai itu menggambarkan pendangkalan di segenap urusan hidup. Di sepak bola misalnya, bukan lagi menjadi urusan sepakbola melainkan intrik politik dan organisasi yang ruwat. Sepakbolanya sendiri hilang entah kemana, lebih banyak menyumbang persoalan daripada prestasi. Begitu juga dengan politik. Banyak partai didirikan atas nama kecewa. Belum lagi berkontribusi untuk bangsa, partai sudah sibuk dengan pertengkaran sendiri. Begitu banyak pihak yang terpaksa menjadi sangat sibuk untuk mengurusi persoalan sendiri. Begitu besar konsentrasi untuk diri sendiri sehingga urusan bersama terlantar di mana-mana. Fasilitas umum mengalami fandalisme, sehingga orang-orang lebih memilih bersikap tidak umum. Di tempat rekreasi misalnya, kita dikejutkan oleh masalah sampah. Sampah menghuni apa saja. Yang terlihat bukan cuma merdeka dalam membuang sampah, tapi juga bagi petugas kebersihan untuk tidak menjalankan tugasnya. Begitu juga dengan Perda tentang sampah.
Sedang ada ruang kemerdekaan yang luas untuk melangsungkan tindakan yang pusatnya hanya kepentingan diri sendiri. Lihatlah, hampir seluruh kerumitan bangsa dan bernegara bukan hanya bersumber pada kebodohan dan kemiskinan, melainkan lebih pada pemujaan yang sangat pada kepentingan diri sendiri. Sekarang jelas kenapa krisis kepemimpinan terjadi, yaitu karena dimana-mana publik tidak melihat kepemimpinan, melainkan pihak yang sbuk menggendong pamrih-pamrihnya sendiri. (Prie GS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar