Senin, 02 Mei 2011

Duka Cita Kerukunan Umat Beragama

Pita hitam pantas dikenakan, untuk menandai duka cita kerukunan umat beragama negeri ini. Sikap penuh toleran yang menjadi pondasi utama bangunan republik ini, terasa semakin tipis saja. Penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan, menjadi barang yang amat langka. Belum reda duka kita atas kekerasan yang menimpa jemaah Ahmadiyah di Banten, kini meledak rusuh Temanggung. Tiga rumah ibadah dibakar massa, sebagai buntut persoalan penistaan agama yang kasusnya tengah disidangkan di pengadilan.
Pertikaian dan kekerasan berlatar belakang agama itu tidak saja memprihatinkan, tetapi membangunkan tidur panjang kita. Jujur saja, selama ini publik begitu dininabobokan dengan puja-puji keberhasilan negeri ini dalam mengelola keberagaman. Sanjungan itu telah membuat kita lupa bahwa, faktanya bangunan kerukunan beragama itu, sebagai wadah untuk mengeliminasi sekat-sekat perbedaan,  sebenarnya dibangun di atas pondasi rapuh toleransi.
Inilah ironi di negeri ini. Dua kasus kekerasan berlatar belakang agama itu terjadi, justru tidak lama setelah ratusan orang dari berbagai agama, tokoh agama, tokoh nasional, hingga utusan PBB berkumpul di Istora Senayan untuk meniupkan napas kerukunan antarumat beragama. Kampanye bertajuk “The World Interfaith Harmony Week 2011″ adalah pesta umat yang disebut Ketua Presidiumnya Din Syamsuddin sebagai Pekan Kerukunan Antarumat Beragama Dunia. Tetapi seruan yang membawa pesan kepada seluruh umat di Indonesia untuk tetap menjalin persatuan dan kesatuan, hanya membentur ruang-ruang kosong.
Siapapun di antara kita, pasti tidak menginginkan kerukunan umat ternodai oleh bentrokan  mengatasnamakan agama. Memang perjalanan panjang pertikaian antaragama dan kekerasan itu, tidak cukup bisa diakhiri hanya dengan seruan. Kampanye itu penting, tetapi yang tidak kalah penting adalah kesigapan aparat keamanan untuk mencegah dan menangkal konflik lebih dini. Jangan sampai aparat keamanan justru terkesan melakukan pembiaran terhadap konflik-konflik itu.  Kita tak perlu menutup mata, karena yang terjadi di lapangan, konflik itu pecah sebagai akibat aparat gagap menangkal bentrokan.
Kita semestinya sadar, konflik antar agama ini, sudah sangatlah serius. Jadi harus ada upaya yang sungguh-sungguh untuk meretas kerukunan umat beragama ini. Selain kesabaran, dibutuhkan konsistensi dan tekad kuat untuk membangun kesepahaman. Kampanye yang diserukan kalangan elit agama di tingkat nasional pun, harus bisa diturunkan hingga ke tokoh-tokoh lokal. Karena sesungguhnya, pemahaman toleransi di akar rumput inilah yang paling menentukan dalam meredam konflik. Kegagalan komunikasi ini, hanya akan membuat toleransi yang bertujuan membangun kemaslahatan bersama, semakin menjauh. Dan kita tentu tidak ingin, negeri ini terjebak dalam konflik agama yang berlarut-larut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar