Begitu menggemaskan ABG dari Kanada Justin Bieber. Kedatangannya di Jakarta disambut para pengemuarnya, bahkan kedatangamnya di bandara disambut isak tangis mereka yang kecewa. Musik pop dunia diguncang dengan seorang anak yang keajaibannya disebut-sebut melebihi Michael Jackson. Follower twitternya mencapai 9 juta, dan terus merangkak naik.
Menggemaskan, itu intinya. Tapi apa cuma dia? Tidak! Kegemasan serupa juga membuat Briptu Norman, polisi iseng di meja piket menjadi selebriti dadakan yang kelelahan. Follower twitternya yang semula hanya puluhan ribu menjadi 36.000 dalam hitungan minggu. Kenyataan bahwa Justin Bieber dan Briptu Norman berbeda volume followernya, iya. Tapi bicara energi kegemasannya, sama.
Semua orang punya titik ledak yang sama dalam hal menggemaskan. Energi ini terserak disekitar kita. Bersemayam di bakul-bakul sayur yang di malam hari merayap kepasar, di anak-anak yang bermain di selokan, di sapi-sapi yang disiplin membuang kotoran di tempat yang sama. Banyak sumber kegemasan di dunia yang terlewat.
Jangan lupa, sumber itu ada juga dalam diri kita. Tapi kesibukan membuat kita lebih suka menjadi penggemas dari pada yang digemasi. Mengagumi lebih sering kita lakukan dari pada jadi pusat kekaguman. Mencari sumber kekaguman pada diri orang lain lebih sering kita lakukan daripada menggali pusat kekaguman pada diri sendiri.
Kita kagum pada pianis Korea, sampai lupa betapa normalnya jari kita sendiri. Karena meski normal daya gunanya rendah sekali. Ahli dengan cacatnya memang luar biasa, tapi yang lebih luar biasa adalah kerja kerasnya. Karena untuk bisa memainkan sebuah kompisisi, ia perlu berlatih tidak kurang dari setahun. Ini bukan soal cacat atau normal. Ini soal ketahanan. Siapa yang sanggup, akan jadi sumber kekaguman. Maka, mari teliti apa saja sumber kekaguman dalam diri yang selama ini kita biarkan tertidur lelap.(SmartFM Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar