Minggu, 22 Mei 2011

Manajemen Iri

Bohong kalau saya tidak punya rasa iri. Iri adalah insting manusia, karena hewan juga memilikinya. Sumber iri adalah rasa memilki. Berebut adalah resiko berikutnya. Jika cuma mengandalkan insting, saya akan seperti kucing, iri, lalu memperebutkan. Tapi itu tidak mungkin, karena saya bukan kucing, yang irinya hanya didorong oleh 2 hal, yaitu lapar dan kawin. Diluar itu, hewan ini adalah hewan yang tabah.
Daftar iri saya nyaris sulit dibuat,  karena banyaknya sebanyak daftar keinginan saya. Mulai dari kompor hingga telefon genggam. Padahal kompor lama dan kompor baru sama-sama mengeluarkan api, yang beda cuma tombolnya. Sementara HP muah atau HP mahal, tidak merubah nasi saya. Dan orang yang menghubungi saya juga tidak menanyakan apa merk HP saya, layar sentuh atau tidak, ada pulsanya atau tidak. Hal-hal yang tidak ditanyakan oranglain itulah yang serius saya fikirkan. Saya juga bisa meng-irikan soal-soal yang sebenarnya tidak perlu, karena saya menyangka, itulah sumber keirian.
Rasa iri yang sebetulnya asbtrak itu, bisa saya konkritkan karena ego-ego saya. Misalnya menganggap orang lain beruntung, dan diri saya malang. Itulah abstark, prasangka dan asumsi. Sangkaan itu muncul karena keinginan kita tidak terkabulkan. Padahal orang yang keinginannya tidak terkabul adalah orang yang tercukupkan. Jelas, iri manusii berbeda dengan iri hewan. Perbedaannya ada pada kebutuhan dan keinginan.
Dengan melacak jejak iri versi cara ini jelas, sumberiri itu ternyata berasal dari keinginan saya, bukan kebutuhan. Secara kebutuhan saya tercukupi walau seluruh keinginan saya belum terkabul. Persoalnnya adalah jangan melupakan hidup saya yang secara faktual tercukupi. Cukup tapi iri, itu pasti karena saya yang tidak tahu diri.(Prie GS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar