Selasa, 12 April 2011

Memaknai Cobaan

Mendengar istri saya mengalami keguguran, teman-teman dan kerabat membesuk ke rumah sakit. Seperti sudah menjadi prosedur tetap dalam membesuk orang di rumah sakit, mereka bertanya apa yang terjadi, dan sebelum pulang ada yang memberi nasehat dan penguatan.
“Jangan kecewa ya”, kata seorang teman. Saya mengangguk, namun dalam hati sesungguhnya saya berkata: Saya bersyukur, karena tanpa susah payah membesarkannya, dia langsung masuk surga.
“Sabar ya, nanti akan diberi yang lebih baik”, kata seorang teman yang lain. Dalam hati saya berkata: Tuhan selalu memberi yang terbaik menurut ukurannya. Dalam keyakinan saya, tidak ada kamusnya Tuhan memberi sesuatu, lalu diralat dengan yang lebih baik dari sebelumnya. Apa yang diberikan Tuhan selalu yang terbaik. Anak saya saat itu adalah yang terbaik untuk saat itu. Ketika dia diambil kembali, itu juga yang teraik. Kalau nanti istri saya mengandung lagi, maka itu adalah pemberian Tuhan berikutnya.
“Yah, belum rejekinya”, kata seorang teman lagi. Dalam hati saya berkata: Ini sudah menjadi rejeki saya. Saya sudah diberi rejeki kebahagiaan luar biasa selama 7 bulan, saya melihat perkembangan perut istri saya, saya bermain dengan janin. Memang Tuhan memberi jatah rejeki saya selama 7 bulan. Apalagi di rumah sakit sebelum dimakamkan, saya masih sempat menikmati wajahnya tersenyum.
“Jangan sedih, ini cobaan dari Tuhan”, kata teman yang lain. Dalam hati saya berkata: Terima kasih, memang ini cobaan. Ketika Tuhan mengajarkan teori hidup lewat buku dan ceramah para pendakwah, Tuhan meminta saya untuk mencoba teori hidup tadi disituasi yang sebenarnya. Ini berarti cobaan adalah kesempatan untuk magang dan praktek. Cobaan bersifat netral, kita sendirilah yang melekatkan rasa sedih kepada pengalaman yang dinamakan cobaan itu.
Saya memilih untuk menerima dan bersyukur terhadap cobaan ini, karena berarti Tuhan memperhatikan dan sayang kepada saya.(Smart Provokasi,Prasetya MB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar